umpeng sewu merupakan ritual khas yang di adakan di desa Kemiren. Tumpeng sewu kemiren merupakan Selamatan Kampung yang sangat unik yang masih di junjung tinggi oleh masyarakat desa Kemiren. Ritual ini diselenggarakan dengan menjemur kasur warna Merah dan Hitam di sepanjang jalan desa, yang mungkin belum pernah anda saksikan di manapun.
Selamatan Kampung dengan tumpeng Pecel pithik yang merupakan makanan khas Banyuwangi, hanya bisa Anda temukan di desa kemiren. Ritual ini sangat cocok untuk para pecinta fotografi sambil mencicipi makanan khas Banyuwangi. Selain itu, juga ada pasar murah dan pengunjung bisa memesan pecel pithik untuk dimakan sekeluarga.
Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang meminta tolong. Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala. Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur.
Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit. Dalam acara tumpeng sewu tersebut, warga Osing setempat duduk lesehan di sepanjang jalan dengan mengunakan penerangan obor dan makanan yang dihidangkan berupa nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauk khas suku Osing yakni pecel ayam.
Bagi masyarakat Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, saat berbuka puasa di hari terakhir Ramadan atau malam takbiran menjelang hari raya memiliki makna tersendiri.
Warga Kemiren berkeyakinan di malam takbiran juga merupakan momen penting dari serangkaian perayaan Idul Fitri tersebut. Ditiap tahunnya mereka rutin menggelar tradisi "Selametan Sedekah Lebaran" yang dilaksanakan dimasing-masing rumah.
Sedekahlebaran adalah selamatan kemenangan bagi masyarakat Desa Kemiren setelah melaksanakan puasa ramadhan sebulan penuh. Tujuannya agar seluruh keluarga diberi keselamatan saat unjung-unjung (anjangsana) atau silaturahmi di hari Lebaran. Selain itu, kegiatan ini digelar untuk untuk mendoakan leluhur dari warga Kemiren yang sudah meninggal.
Dalam Selametan Lebaran ini, masyarakat Kemiren berkelompok melakukan doa bersama dengan kerabat dan tetangga berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Mereka secara bersama-sama mengunjungi rumah dari anggota tersebut secara bergantian. Mereka berdoa untuk para leluhur mereka dan untuk keselamatan tuan rumah dalam menjalankan perayaan Idul Fitri.
Uniknya, disaat anjang sana ditiap rumah anggota. Mereka diharuskan makan hidangan yang disediakan. Jadi jika jumlah anggotanya 20 orang, mereka akan bersantap bersama sebanyak 20 kali juga. Tapi sebelumnya dilakukan doa agar tuan rumah selamat, banyak rejeki dan mendapat kesehatan.
Menu Selametan Lebaran bermacam-macam. Mulai dari makanan khas desa Kemiren hingga masakan khas ketupat lebaran pun disajikan untuk ritual tersebut. Semuanya dilakukan untuk melestarikan budaya adat dan tradisi yang mereka anut.
Menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah tentunya tidak mudah. Apalagi dalam satu kelompok yang berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Perut tidak akan muat jika setiap kali harus makan secara penuh, maka untuk mensiasatinya, banyak tamu atau undangan selamatan yang hanya memakan krupuk atau buah-buahan saja.
TRADISI TUMPENG SEWU
(foto : Detik.com) |
Tumpeng Sewu merupakan ritual adat selamatan massal yang telah berlangsung turun temurun pada suku Osing di Desa Kemiren, sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka terima selama satu tahun.
Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang jumlahnya seribu. Disebut demikian karena biasanya setiap kepala keluarga mengeluarkan tumpeng minimal satu. Sedangkan di desa yang berjarak sekitar 5 km dari kota Banyuwangi itu dihuni 1.025 kepala keluarga.
Tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul.
"Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah," tuturnya.
Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah.
Deretan tumpeng (foto : Tempo.co) |
Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang bagus, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Dapat juga diartikan mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.
Menikmati pecel pithik di depan rumah disepanjang jalan (foto : Kompas.com |
Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng Sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum selamatan dimulai, masyarakat melakukan "ngarak barong" sebagai simbol penjaga Desa Kemiren. Selain itu mereka juga membakar daun kelapa kering di sepanjang jalan untuk menghilangkan marabahaya. Sebelum makan bersama, warga mengawalinya sholat maghrib berjamaan dan doa bersama
Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.
Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.
adat dibanyuwangi memang bagus kebersamaan dalam selametan kampung atau di sebut ider bui juga memiliki banyak manfaat diantaranya terjaganya kerukunan antar warga kampung oseng dan juga saya juga sangat tak jub atas masyarakat yang banyak mengikuti partisipasi.semoga dari adat kampung using dapat kita jadikan contoh untuk hidup kedepannya.
BalasHapus