Jumat, 30 September 2016

Mepe kasur

Mepe Kasur, Tradisi Warga Using Desa Kemiren
BANYUWANGI – Selain Tumpeng Sewu, tradisi masyarakat using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi adalah Mepe Kasur. Tradisi mepe kasur merupakan tradisi yang telah dilakukan masyarakat Desa Kemiren (salah satu desa dengan penduduk asli Using) yang masih langgeng hinga saat ini. Yaitu, menjemur kasur secara bersamaan di sepanjang depan rumah warga sebelum dilaksanakan Tumpeng Sewu, pada malam harinya.
Di Tahun 2015 ini, tradisi menjemur kasur ini dilakukan Kamis (17/9). Proses menjemur kasur ini berlangsung hingga menjelang sore hari. Setelah matahari melewati kepala alias pada tengah hari, semua kasur harus dimasukkan. Konon jika tidak segera dimasukkan, kebersihan kasur ini akan hilang.
Sejak matahari hari terbit,  tepatnya sekitar pukul 07.00 WIB warga Desa Kemiren terlihat semangat mengeluarkan kasur yang khas berwarna hitam dan merah yang menjadi garis lipatan kasur untuk dijemur di depan rumah masing-masing. Tinggi kasur ini pun beragam, ada yang 5 cm, 7 cm dan 8 cm.
Begitu matahari terbit, kasur segera dijemur di depan rumah masing-masing, sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit.
Sejauh mata memandang arah barat Desa Kemiren, tampak di setiap depan rumah penduduk berjajar rapi jemuran kasur berwarna dasar hitam dan bergaris merah. Pemandangan itu mengisyaratkan betapa rukun dan guyubnya warga desa tersebut. Hal yang tak kalah menarik, para pemukul jemuran kasur dengan penebah tersebut para mbah-mbah.
Masyarakat Using ini meyakini dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit. Dan khusus bagi pasangan suami isteri, tradisi ini bisa diartikan terus memberikan kelanggengan. Karena setelah Kasur-nya dijemur, akan bagus kembali, sehingga yang tidur seperti pengantin baru.
Isun ngerasakaken dewek, sak bare totaken kasur teko ngomah, omah katon rijik, penyakit ilang lan atinesun roso adem. Mugo-mugo tradisi ini terus dilanggangaken  supoyo selamet kabeh,” kata Abdul Karim, warga Kemiren dengan logat Usingnya yang khas.
Sementara itu, Sesepuh Adat Kemiren, Timbul Juhadi Timbul, mengatakan warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur. Sehingga mereka mengeluarkan kasur dari dalam rumah lalu dijemur di luar agar terhindar dari segala macam penyakit. Kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang. Ritual ini digelar setiap tanggal 1 Dzulhijah dan bagian dari ritual bersih desa.
Kasur yang dijemur warga Using ini, kata Timbul, berwarna merah dan hitam. Merah memiliki arti berani dan warna hitam diartikan simbol kelanggengan rumah tangga. “Biasanya tiap pengantin baru dibekali kasur warna ini. Harapan orang tua langgeng dan tentrem rumah tangganya,” ujarnya.   
Setelah memasukkan kasur ke dalam rumah masing-masing, warga Using pun melanjutkan tradisi bersih desa ini dengan arak-arakan barong. Barong diarak dari Ujung Desa menuju ke batas akhir desa yang ada di atas. Setelah arak-arakan Barong, masyarakat Using malanjutkan berziarah ke Makam Buyut Cili yang diyakini masyarakat sebagai penjaga desa. Sebagai puncaknya, ketika warga bersama-sama menggelar selamatan Tumpeng Sewu pada malam hari. Semua warga mengeluarkan tumpeng dengan lauk khas warga Osing, yaitu pecel pithik alias ayam panggang dengan parutan kelapa. Kekhasan acara ini juga ditambah akan dinyalakan obor di setiap depan pagar rumah warga.Ada tradisi unik yang selalu dilakukan masyarakat adat Using di Banyuwangi, Jawa Timur, setiap menjelang Hari Raya Idul Adha. Yakni tradisi mepe kasur, atau menjemur kasur. Tradisi mepe kasur dilakukan setiap awal bulan Dzulhijah dalam kalender Jawa dan Islam. Tetapi harus dilakukan di malam Senin atau Jumat.

Tradisi Mepe Kasur ini merupakan bagian tak terpisah dari tradisi selamatan desa yang disebut Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam hari, maka tradisi Mepe Kasur dilakukan pada pagi sampai siang harinya. 

Pada siang hari sebelum dilakukan tradisi Tumpeng Sewu, warga desa Kemiren melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara massal.Ratusan kasur itu dijemur berderet-deret sepanjang jalan. Mepe kasur dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari meredup.

Cara menjemur kasur memang tidak berbeda dengan di tempat lain. Kasur di tempatkan di depan rumah atau pinggir jalan, di bawah teriknya matahari. Pada saat tertentu, ibu-ibu akan memukul-mukul kasur dengan rotan untuk menghilangkan debu yang melekat. Yang unik, semua kasur berwarna sama, yakni  hitam dan bertepi merah.

Tradisi mepe kasur suku Osing Banyuwangi.

Memang semua kasur warga Kemiren warnanya khas, yaitu abang cemeng. Abang artinya merah dan cemeng berarti hitam. Abang cemeng merupakan bahasa Using. Sisi atas dan bawah kasur kapuk itu berwarna hitam, sedangkan kelilingnya berwarna merah.

Menurut Timbul, sesepuh desa Kemiren, kasur warga Using memang selalu dibuat demikian, sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.

Hingga kini, tradisi berkasur hitam merah ini terus menerus diturunkan. Setiap pengantin baru akan menerima kasur baru dengan warna serupa dari orangtua mereka. Mungkin hanya di desa inilah springbed dan laundry kasur tak menemukan pasarnya.

Namun menjadi unik karena kasur itu dijemur secara bersamaan. Karenanya di sepanjang kiri dan kanan jalan desa Kemiren terlihat kasur-kasur dijemur.Kasur yang dijemur juga kasur khusus. Sebab warnanya khas Kemiren yakni abang cemeng. Abang dalam Bahasa Indonesia berarti merah dan cemeng berarti hitam.

Dalam tradisi masyarakat suku osing desa Kemiren, pasangan suami istri yang baru menikah pasti mempunyai kasur abang cemeng. Warna Cemeng atau hitam bertujuan menolak bala atau sial, sedagkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tanggannya langgeng dengan kasur abang cemeng.

Setelah mepe kasur, warga setempat nyekar ke makam buyut Cili, leluhur desa setempat. Setelah itu, acara arak-arakan barong dan arak-arakan obor blarak (daun kelapa kering).

1 komentar:

  1. kalian semua baru tau kan ayo kawan,pelajari lebih dalam tengtang kebudayaan desa banyuwangi yang memilki banyak sekali keunikan.

    BalasHapus